Setelah debut buku pertamanya The Secret (2007) berhasil menjadi Mega Bestseller, kali ini Rhonda Byrne membuat sekuelnya berjudul The Power (2010).Walau titik tekannya berbeda, tapi benang merahnya sama, yaitu perihal hukum magnetik—tarik-menarik (Law of Attraction). Rhonda sangat yakin bahwa hukum tarik-menarik tak pernah gagal memberi kita setiap hal dalam hidup kita berdasarkan yang kita ungkapkan. Kita menarik dan menerima keadaan-keadaan seperti sejahtera, sehat, hubungan, pekerjaan, serta setiap kejadian dan pengalaman dalam hidup kita, berdasarkan pikiran dan perasaan yang kita ungkapkan. Dalam The Secret Rhonda mengungkapkan rahasia orangorang sukses di masa lalu dengan hukum tarik-menarik (the law of attraction).
CINTA-SYUKUR Sumber Kekuatan.......
Setelah debut buku pertamanya The Secret (2007) berhasil menjadi Mega Bestseller, kali ini Rhonda Byrne membuat sekuelnya berjudul The Power (2010).Walau titik tekannya berbeda, tapi benang merahnya sama, yaitu perihal hukum magnetik—tarik-menarik (Law of Attraction). Rhonda sangat yakin bahwa hukum tarik-menarik tak pernah gagal memberi kita setiap hal dalam hidup kita berdasarkan yang kita ungkapkan. Kita menarik dan menerima keadaan-keadaan seperti sejahtera, sehat, hubungan, pekerjaan, serta setiap kejadian dan pengalaman dalam hidup kita, berdasarkan pikiran dan perasaan yang kita ungkapkan. Dalam The Secret Rhonda mengungkapkan rahasia orangorang sukses di masa lalu dengan hukum tarik-menarik (the law of attraction).
BJ Habibie "i was born to love U,,,"
Selasa malam 30 November ini, Bacharudin Jusuf Habibie meluncurkan buku "Habibie & Ainun" yang disebut sejumlah kalangan sebagai buku tentang cerita cinta abadi dua anak manusia. Kehidupan penuh cinta pasangan Habibie dan Hasri Ainun memang bisa menjadi bahan ajar menarik untuk keadaan sosial kini yang terlalu dimabuk kabar selingkuh, cerai, sensasi syahwat dan birahi.
Mereka menguak kisah cinta sejati dan kesetiaan yang membangkitkan takjub, selain menjadi cermin kepada siapa keluarga-keluarga berkaca. Kesetiaan tiada koma dari sang ilmuwan cemerlang kepada
Spiritualitas,Esensi Beragama
KETIKA manusia mengalami peristiwa dahsyat yang bakal merenggut nyawanya,seketika itu pula dia membutuhkan kekuatan di luar dirinya,yaitu Tuhan,yang bisa menyelamatkannya.
“Benar gak sih masih ada Tuhan dalam diri kita? Coba Anda tes dengan mengunjungi Gunung Merapi...Pasti Ada Tuhan!” Begitu bunyi status Facebook seorang teman saat kejadian erupsi Gunung Merapi yang memakan korban jiwa. Status tersebut mengindikasikan ketika seseorang dihadapkan pada musibah, biasanya manusia sadar bahwa mereka membutuhkan pertolongan Tuhan. Stalin, seorang tokoh komunis Rusia,secara tidak langsung mengakui juga adanya Tuhan. Arvan Pradiansyah dalam buku ini mengisahkannya. Waktu itu Stalin bersama rombongannya tengah berada di dalam pesawat, tiba-tiba pesawatnya mengalami kerusakan parah tepat di atas pegunungan.
Three Cups Of Tea

Penerbit : Hikmah
Penulis : Greg Mortenson
Harga : Rp. 89.000
Sebuah kisah menakjubkan dan inspiratif tentang Indiana Jones sejati dan perjuangan kemanusiaannya yang mengharukan di pekarangan belakang rezim Taliban.
Seorang pendaki gunung, Greg Mortenson, dibawa nasib ke pegunungan Karakoram yang gersang di Pakistan setelah gagal mendaki puncak K2, gunung tertinggi kedua di dunia. Tersentuh oleh keramahan penduduknya, dia berjanji untuk kembali dan membangun sebuah sekolah.
Three Cups of Tea berisi mengenai kisah pemenuhan janji tersebut, beserta hasilnya yang mencengangkan. Ya, selama satu dekade berikutnya, Mortenson telah membangun tak kurang dari lima puluh satu sekolah terutama untuk anak-anak perempuan di lingkar terluar daerah terlarang rezim Taliban. Kisahnya adalah sebuah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangat kemanusiaan.
Pada 1993, seorang perawat Amerika, Greg Mortenson, berhasrat menaklukan puncak gunung tertinggi sedunia, K2, di Himalaya. Bukan hanya gagal melaksanakan niatnya, Mortenson juga tersesat, mengalami keletihan kronis, bahkan kehilangan 15 kg bobot tubuhnya. Setelah berjalan kaki tertatih-tatih turun gunung selama tujuh hari, Mortenson yang menuju Askole, malah tiba di Korphe, desa yang bahkan tak pernah dilihatnya di peta Karakoram. Di sanalah, di gubuk Haji Ali, Mortenson dijamu dengan ramah, dirawat dengan penuh perhatian dan dilayani bak tamu istimewa.
Di lingkungan nan miskin inilah jalan hidup Mortenson, juga jalan hidup anak-anak di Pakistan Utara, berubah. Ketika memikirkan cara membalas budi baik mereka, jantung Mortenson serasa tercerabut dan napasnya tercekat saat melihat bagaimana anak-anak di sana bersekolah: mereka duduk melingkar, berlutut di tanah yang membeku, dalam udara nan dingin, dengan tertib mengerjakan tugas. Mortenson meletakkan tangannya di pundak Haji Ali dan berkata, "Aku akan membangun sebuah sekolah untuk kalian. Aku berjanji." Inilah kisah mengenai pemenuhan janji tersebut. Selama satu dekade berikutnya, Mortenson telah membangun tak kurang dari lima puluh satu sekolah terutama untuk anak-anak perempuan di daerah tempat lahirnya Taliban. Kisahnya adalah sebuah petualangan seru sekaligus kesaksian akan kekuatan semangat kemanusiaan.
Kesaksian Jadi Napi Selama 973 Hari

Oleh Meicky Shoreamanis Panggabean*
Di penjara tidak ada yang gratis…Untuk mendapatkan uang, setiap napi harus mengeluarkan uang. Tahanan dan napi sungguh tidak berdaya dalam cengkeram gurita penguasa penjara (xi).
Belum sampai kita pada halaman satu, mata kita sudah akan tertumbuk pada rangkaian kalimat di atas. Baharmi, wartawan sebuah harian di Surabaya, memang sepertinya berupaya total saat menulis buku ini. Pengalamannya di lapas Medaeng, Surabaya, menjadi napi selama 973 hari, yang lantas ia abadikan menjadi judul buku, diuraikan dengan sangat jujur dan kerap dengan menggunakan bahasa yang bisa membuat telinga gatal.
Bagi mereka yang biasa berbahasa secara elegan, pada mulanya menelusuri halaman demi halaman dari buku yang sarat gambar berukuran mini ini bisa jadi akan menimbulkan masalah. Di rak-rak toko buku, kita bisa menemukan beberapa judul tulisan yang mengungkapkan apa yang sesungguhnya berlangsung di dalam penjara namun hanya buku ini yang dengan cueknya menggunakan bahasa yang kerap terkesan vulgar. Dan, persis, justru inilah kelebihannya:Baharmi tidak hanya berusaha menyodorkan penjara ke depan mata kita. Ia berusaha menarik kita masuk. Ia tak hanya menjabarkan pengalamannya, ia memberi kita kesempatan untuk menghisap saripati kehidupan seorang narapidana:Keras, kasar, tidak logis, berbanding terbalik dengan keseharian hidup di masyarakat namun pada saat yang sama juga merupakan replika dari masyarakat.
Lepas dari beberapa kesalahan berbahasa dan struktur yang bisa disusun dengan lebih sistematis, buku ini menarik untuk dibaca karena karakter penulisnya yang jauh dari munafik. Kejujurannya, walau sangat mungkin ini membuat keluarganya kalang-kabut, menjadi nilai lebih yang membuat pembaca bisa amat menghargainya. Dari semua buku mengenai penjara yang ditulis 5 tahun terakhir ini oleh mantan napi Indonesia, karya pria yang sekarang masih aktif menulis ini jelas sekali adalah produk yang paling jujur, atau mungkin bahkan gila. Bayangkan, tanpa segan Baharmi mengungkapkan bahwa ia memanfaatkan fasilitas kencan dengan napi wanita (hal.36) dan ia juga secara terbuka membuka aibnya sendiri! (Hal.101).
***
Anda kenal Jhon Kei ? Jika tidak, tanyakan nama tersebut pada orang Maluku. Menyebut nama pria bertubuh kekar ini di wilayah Ambon menimbulkan sensasi serupa dengan menyebut nama Olo Panggabean di area Sumatra Utara: Bulu kuduk kita niscaya berdiri karena teringat jajaran manusia yang takut pada mereka berdua:Dari mulai anak-anak hingga petugas kepolisian, dari mulai para pengangguran sampai mereka yang ada di struktur pemerintahan dan pemilik perusahaan besar.
Preman Ambon ini, bersama-sama dengan aktor veteran Roy Marten, pernah beberapa bulan berada dalam satu tahanan dengan Baharmi dan mereka berdua rupanya meninggalkan kesan tersendiri bagi penulis sehingga ia memberikan tempat yang cukup banyak untuk mengulas keduanya. Kisah mereka berdua, kendati berbeda alurnya namun sama-sama memberi kita kesempatan untuk melihat bagaimana dua manusia—pada waktu dan tempat yang berlainan-menjalani proses metamorfosa dari manusia bebas menjadi tahanan yang tak punya kemerdekaan.
Ya, kemerdekaan. Mereka yang dipenjara seyogyanya hanya kehilangan kemerdekaan untuk bergerak namun Baharmi menunjukkan bahwa di dalam penjara masih ada penjara. Oleh karena itulah lantas penjara menjadi penting untuk direkam.Dan telah ia melakukannya. (Penulis adalah guru SMP/SMekolah Pelita Harapan, Lippo-Cikarang)
Mitos-Mitos di Balik Kisah Sinetron, Dalam Perspektif: Hegemoni dan Kapitalisasi

Penulis : Drs. Sujarwa, M. Hum
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama (1), Mei 2010
Tebal : 166 halaman
Harga : Rp 40.000
Peresensi : Humaidiy AS *)
Saat ini, budaya kapitalisme dan hedonisme dengan berbagai ragam bentuknya telah menggejala begitu akutnya. Salah satunya adalah budaya konsumerisme yang tidak lain adalah kepanjangan tangan dari budaya kapitalistik yang terlihat secara mencolok dengan tegaknya pusat-pusat perbelanjaan, mall-mall, menjamurnya kafe-kafe, menjangkitnya trend mode, kontestasi idol dan sederet ikon modernitas lainnya yang ditampilkan dalam sebuah benda “ajaib” bernama televisi. Melalui corong televisi, segala ikon modernitas itu seolah menjadi pusat budaya dan “tempat ibadah” yang menawarkan simbol ideologi baru dan merasuk kuat ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Sujarwa melalui buku berjudul “Mitos-Mitos di Balik Kisah Sinetron, dalam Perspektif: Hegemoni dan Kapitalisasi” ini, secara khusus berusaha mengajak kepada pembaca untuk melihat sisi gelap pengaruh tayangan televisi dalam realitas empirik masyarakat dengan berbagai macam bentuknya. Dalam penjelasannya lebih jauh, dijelaskan secara komprehensif ihwal betapa masyarakat telah manipulasi sedemikian rupa oleh korporasi menjadi konsumen yang siap untuk dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemikiran, life style, bahkan pandangan hidup tertentu yang diciptakan oleh tayangan sinetron. Sujarwa secara tajam mengkritisi tayangan televisi (sinetron) sebatas menjadi ajang atau media menanamkan mitos lama tentang dunia misteri dan gaya hidup modern yang jauh dari realitas masyarakat(hlm. 96).
Orang-orang yang Dipaksa Kalah

Judul Buku : Childhood and Society
Penulis : Erik H. Erikson
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xxix + 536 halaman
Harga : Rp 62.000,-
Telah banyak disiplin ilmu yang muncul dari kajian atau penelitian yang mana manusia menjadi obyek materialnya. Namun demikian, berbagai kajian dan penelitian itu berbeda dalam hal obyek formalnya. Manusia sebagai obyek material dalam sebuah kajian atau penelitian, memunculkan disiplin ilmu psikologi dengan obyek formalnya adalah kejiwaan atau psikisnya. Artinya, manusia dikaji atau diteliti dari sisi kejiawaan atau psikisnya, muncullah sebuah disiplin ilmu yang dinamakan psikologi.
Erik H. Erikson dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” memaparkan sebuah pembahasan yang menarik tentang manusia dikaji dari segi kejiwaannya. Tidak hanya itu, pembahasan tentang manusia dalam buku tersebut juga dikaitkan dengan kehidupan sosialnya sebagaimana bahwa manusia itu adalah makhluk sosial. Dengan demikian, jadilah psikososial yang dalam buku tersebut berisikan tentang hubungan antara manusia yang masih dalam tahap masa kanak-kanak dengan psikososialnya.
Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat penting untuk pembentukan kepribadian dan karakter. Dengan demikian, masa kanak-kanak adalah suatu tahap di mana manusia itu belajar sebanyak-banyaknya tentang kehidupan sebagai modal hidupnya kelak. Di masa tersebut, manusia bersifat imitatif atau menirukan dari apa saja yang ada dan terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, faktor lingkungan sangat berpengaruh pada perkembangan manusia di masa kanak-kanak tersebut.
Mengutip pendapat John Locke (1632-1704) tentang teori “tabularasa” yang mana manusia itu terlahir seperti kertas kosong. Dengan demikian, kertas tersebut perlu diisi atau ditulis dengan sesuatu. Oleh karenanya, manusia yang masih “kosong” haruslah diisi. Tidaklah mungkin manusia yang baru terlahir langsung bisa mengisi kepribadiannya sendiri. Tentunya mambutuhkan bantuan orang lain (orang tua) atau lingkungan sekitar. Dengan demikian, hingga masa kanak-kanak pun manusia terpengaruh oleh lingkungan. Karena lingkungan sangat mempengaruhi, maka lingkungan harus diatur sebaik mungkin agar manusia yang masih dalam tahap kanak-kanak terbentuk kepribadian dan perilakunya yang baik.
Periode kanak-kanak (childhood) terbagi menjadi dua masa yakni early childhood dan late childhood. Early childhood adalah ketika anak sudah berusia 2 tahun hingga 6 tahun. Periode tersebut adalah ketika manusia semakin membaik dalam menguasai anggota tubuhnya. Kemampuan dalam berbahasa pun juga meningkat.
Sementara late childhood adalah ketika anak berusia dari 6 hingga 12-14 tahun. Periode tersebut menunjukkan semakin masaknya organ-organ seksual. Dalam periode tersebut, manusia sudah lebih mandiri. Hal itu ditandai dengan mulainya manusia untuk membanding-bandingkan segala sesuatu di rumahnya dengan sesuatu yang berada di luar rumah, seperti di sekolah dan di rumah teman-temannya yang lain. Norma-norma moral yang pada masa earli childhood terasa absolut oleh anak, berubah menjadi relatif ketika telah mengenal lingkungan luar (luar rumah). Oleh karenanya, perhatian terhadap anak haruslah diutamakan oleh setiap orang tua.
Manusia yang mana masih dalam tahap childhood merupakan tahapan yang mana peran lingkungan sangat mempengaruhinya. Pengaruh lingkungan tersebut yang menjadikan kepribadian dan karakter anak hingga dewasa nantinya. Oleh karenanya, dalam masa tersebut seorang anak hendaknya berada di lingkungan yang baik dan penuh kasih sayang. Hal itu akan sangat membentuk perilaku baik seseorang. Sebaliknya, lingkungan yang tidak baik akan membuat anak menjadi tidak baik pula.
Lingkungan masyarakat juga membentuk manusia yang masih dalam tahap kanak-kanak memperoleh bahasa. Orang yang terlahir dan mengalami masa kanak-kanak di Jawa, tentunya ia akan menggunakan bahasa Jawa dalam berbicara. Begitu juga yang terlahir di Sunda, Betawi, atau di Inggris, Prancis, dan lain sebagainya, tentuya akan memperoleh bahasa ibunya di tempat di mana anak terpengaruh oleh lingkungannya.
Karena masa kanak-kanak sangat menentukan kepribadian seseorang, oleh karenanya seorang anak itu diberi pendidikan yang baik dan kasih sayang yang terpenuhi. Hal itu sebagai modal seorang anak ketika pada nantinya mengalami periode dewasa. Orang dewasa juga harus menyadari bahwa ia berangkat dari anak atau bocah kecil, yakni periode kanak-kanak.
Modalitas manusia ketika masih kanak-kanak itu sangatlah penting untuk perkembangan seseorang. Tidak hanya itu, modalitas tersebut sangat membentuk kepribadian dan karakter manusia. Dengan demikian, selain faktor lingkungan yang harus diperhatikan, faktor proteksi anak juga harus diutamakan. Proteksi yang dimaksudkan adalah perlindungan anak dari kelainan-kelainan yang berkaitan dengan kesehatan anak. Kelainan pada anak bisa mengakibatkan fatalitas pada perkembangan dan pertumbuhan sehingga anak berpotensi mengalami kelainan, baik secara fisik ataupun mental. Gizi buruk akibat kekurangan asupan makanan dan minuman yang bergizi telah menjadi banyak contoh yang memilukan di negara-negara miskin. Oleh karena itu, faktor lingkungan dan faktor kesehatan anak, seyogyanya menjadi hal yang diutamakan.
Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Childhood and Society”, para pembaca diajak untuk menjelajahi dunia psikologi yang mana hubungan antara masa kanak-kanak dengan psikososialnya menjadi pembahasan yang menarik. Buku tersebut mengulas berbagai fakta kanak-kanak dari suku Indian, daerah nelayan di sungai Salmon, hingga Amerika dan bahkan masa kanak-kanak Adolf Hitler dan Maxim Gorky. Buku tersebut menyajikan suatu pembahasan dengan cerita sehingga memudahkan pembaca untuk memahami atau paling tidak mengenal pembahasan tentang manusia secara kejiwaannya.
Tafsir kebahagiaan: Tafsir Al-quran menyikapi kesulitan hidup

Judul buku : Tafsir Kebahagiaan: Tafsir Al-Quran Menyikapi Kesulitan Hidup
Penulis : Jalaluddin Rahmat
Penerbit : Serambi Jakarta
Tahun : 1, Juni 2010
Tebal : 201 halaman
Di tengah gejolak dunia modern saat ini, kebahagiaan hadir dengan bentuk dan wajah yang beragam. Tidak sedikit mereka yang bergelimangan harta dan jabatan justru kehilangan makna kebahagiaan yang sedang dicari. Ternyata harta dan jabatan bukanlah sumber kebahagiaan, tetapi kerap kali menjadi sumber malapetaka yang menumpahkan darah dan nyawa. Sejarah umat manusia telah mengabarkan kepada khalayak kita bahwa prestise sosial yang begitu dibanggakan manusia dengan harta dan jabatannnya seringkali berakhir dengan berbagai tragedi mengenaskan. Kuasa harta dan jabatan membungkan nurani kemanusiaan, sehingga kebahagiaan yang ingin dicapai justru sirna.
Jalaluddin Rahmat, yang akrab disapa Kang Jalal, hadir mengumandangkan tafsir kebahagiaan di tengah kesulitan hidup manusia dalam menggapainya. Tafsir kebahagiaan yang diurai Kang Jalal mencoba menggali kebahagiaan dari sumbernya yang sejati, bukan dari asesori kehidupan yang artifisial dan gamang. Dengan kembali kepada sumber asalnya, kebahagiaan bisa diraih dengan penuh keyakinan yang teguh, bukan dengan kegembiraan sesaat yang melenakan. Asesori kehidupan yang kerap dilalui manusia untuk mengais kebahagiaan seringkali hanya menampakkan kebahagiaan dengan wajahnya yang luar, wadag, dan penuh citra, sehingga yang lahir adalah kebahagiaan semu dan palsu.
Tafsir kebahagiaan yang dikumandangkan Kang Jalal adalah tafsir yang kembali dalam ajaran agama. Ingatkah kita bahwa setiap hari, paling tidak sepuluh kali, muazin di seluruh dunia Islam meneriakkan hayya ala al-falah, atau marilah meraih kebahagiaan? Seperti para muazin, buku ini mengajak Anda menjadikan Al-Quran sebagai penuntun hidup bahagia dan sukses dunia-akhirat. Tamsil yang disuguhkan Al-Quran benar-benar indah dan menarik: halilintar dapat menimbulkan ketakutan dan bisa pula melahirkan harapan. Musibah dan bencana bisa menumbuhkan kearifan, bisa pula melahirkan keputusasaan. Kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran bisa menjadi sumber bahagia. Pun bisa menjadi biang derita. Semua tergantung pada cara kita memandang dan menghadapi kenyataan hidup. Ya, sesungguhnya hidup hanya soal sudut pandang.
Buku ini menggali inspirasi dari ayat-ayat suci tentang bagaimana kita menyikapi keadaan yang kita hadapi. Disertai ulasan dari hadis Nabi dan kisah-kisah menghibur, plus penemuan-penemuan mutakhir sains, Kang Jalal membantu Anda menempatkan diri dalam sudut yang tepat agar realitas yang Anda hadapi bisa memberikan harapan dan kebahagiaan. Sisi hukum dan teologis Al-Quran sudah banyak dikupas, tapi sisi psikologis Al-Quran masih jarang diulas. Buku ini hadir untuk membuka jalan kajian lebih lanjut tentang dimensi psikologi Al-Quran.
Catatan-catatan ringan yang diuraikan Kang Jalal secara psikologis ini hadir dengan sangat cair dan renyah, sehingga memudahkan kita memahami seluk-beluk kebahagiaan yang begitu rumit kita pahami dengan sangat mudah dan nyaman kita jelajahi. Kang Jalal tidak menjustifikasi kebahagiaan dengan status hukum halal dan haram, melainkan dengan pendekatan psikologi (psikology aprouch) yang memungkinkan kita bisa hadir dalam berbagai percakapan teologis yang diramu dalam berbagai kisah para Nabi dan guru bijak kemanusiaan.
Tafsir kebahagiaan dalam buku ini hadir untuk menyapa manusia modern yang sibuk dengan rutinitas mekanistiknya. Tafsir yang membuka “jembatan emas” bagi pembaca dalam mengarungi samudra kebahagiaan yang tiada tepinya: kebahagiaan yang lahir dari samudera ilahi. Kebahagiaan demikian inilah sebenarnya yang menjadi kegelisahan berbagai komunitas modern yang terus menggali dan mencari sumber kebahagiaan tanpa henti. Buku ini tidak menggurui kita untuk menemukan kebahagiaan kita, tetapi menjadi teman berbincang dan bercakap yang asyik untuk membuka mata batin hati kita dalam menerangi jejak hidup ini.