Sudah terlalu berat hati melihat mama dalam kesendirian menanggung dan menjalani hidup yang begitu keras; ditinggal oleh sang kekasih pergi ke lain Propinsi untuk sebuah kelangsungan hidup yang lebih layak dalam ukuran materi tentunya bukan diperuntukkan buat mereka berdua lagi tapi untuk generasi berikutnya yang disebut “anak”, bukan hal yang mudah menerima dunia tanpa suami yang ada tapi sekaligus tiada. Bukan inginnya untuk menjadi pasangan jarak jauh yang harus menanggung penyakit yang sangat memilukan yaitu “Rindu”. Pada tahun 1997 panggilan hati untuk mengobati kerinduan
memaksanya meninggalkan pesantern untuk mengikuti sang suami tinggal dan berkebun di Bungku Kab.Poso, mungkin rindu seprti inilah yang memberikan kekuatan yang sangat dahsyat kepada Romeo ketika harus memanjat tembok tinggi dengan penjagaan ketat hanya untuk sekedar menemui kekasih sejatinya atau mungkin kerinduannya malah seperti kerinduan majnun kepada laila harus menerima gelar “majnun”(gila)
karena memeluk tembok rumah laila lalu keluar kata-kata gila dari kerongkongan dan pita suaranya “bukan karena tembok ini aku memeluknya tetapi karena penghuni di balik tembok ini yang sebenarnya aku peluk”, tapi konflik horizontal yang terjadi Tahun 1998 yang katanya karena kecemburuan sosial atau mungkin alasan yang lebih spekulatif yaitu politik, memaksa mama dan mama-mama yang lain meninggalkan suami-suami mereka dengan truk menuju ke Selatan(sul-sel) seperti yang dialami penduduk muslimah di belahan dunia lain yang harus minggat dari kenangan rumah dan tanah air mereka hanya karena kerakusan bangsa-bangsa superpower yang menginginkan kekayaan alam negeri mereka dan ketika itu si bungsu (Solahuddin al-Ayyubi) masih berumur kurang lebih satu tahun setengah lengkaplah derita perjalan ini yang menempuh jarak sekitar seribu kilo dengan kondisi jalan yang luar biasa banyak lubang seperti lubang kuburan. Tapi bukan mama lemah yang harus menerima sekaligus menanggung kenyataan bahwa biaya pendidikan untuk anak-anaknya di negeri ini diluar kemampuannya dengan penghasilan ga’de2nya tidak gede’ yang sudah diambang kepasrahan dan keyakinan akan adanya sang pembagi reski yang ia yakini Tuhan yang maha adil. Pernah mama harus menanggung biaya pendidikan untuk tiga mahasiswa yang semuanya di Universitas Swasta, satu orang siswa SMA dan satu lagi SMP disamping biaya susu si kecil yang ketika cacatan ini aku ketik ia sudah besar bersamaan dengan besarnya uang jajannya tiap hari.
Mama bukanlah orang kaya juga bukan dari keluarga besar yang siap membantu setiap saat pembayaran semester anak-anaknya telah menganga dengan tatapan mata orang-orang tata usaha kampus yang usahawan dan sebentar lagi jadi jutawan tapi ia hanya kaya harapan dan keyakinan akan kehidupan yang lebih layak untuk anak-anaknya melalui investasi jangka panjang yaitu pendidikan padahal ia bukan termasuk orang-orang beruntung dapat mengecap manisnya pendidikan, mungkin perjalanan hijrahlah ke pesantern yang menyadarkan mama akan pentingnya pendidikan khususnya pendidikan agama, sedari awal mama hanya mengharapkan perbaikan dan kebaikan ahklak anak-anaknya akan terbentuk dengan pendidikan agama dan itu bukan isapan jempol semata semua pendidikan anak-anaknya mulai tingkat SD sampai jenjang SMA ditamatkan di pesantern. Ia bangga melihat bahwa semua ritual formal agama menjadi bagian dari kehidupan anak-anaknya termasuk aku sang mantan calon kandidat Ustad Kabir ketika aku harus hijrah ke pesantren Cab.Gowa untuk persiapan menjadi dai-dai handal untuk cabang-cabang pesantern yang telah tersebar di hampir seluruh indonesia.
Dunia semakin tua kata para peneliti begitupun dengan mama yang mulai berambut putih dan pendidikan pun harus dilanjutkan kejenjang yang lebih tinggi setinggi biayanya yang meroket tapi satu yang tidak berubah kekuatan finansial mama naas jalan ditempat kalau bukan malah merosot tajam bersamaan dengan mengendornya permukaan kulit diwajahnya, tapi semangat mencari biaya pendidikan sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda ketuaan dan kelemahan fisik. Satu alasan untuk semua “cinta” jawabnya suatu ketika pertanyaan itu terlontar dari kerongkonganku dan aku sedikit malu menganggapnya orang tua pemarah. Kapabilitas dan integritas mama dengan kunci kejujuran dalam usaha menjadi jawaban atas konsistensinya selama kurang lebih 20 tahunan menjadi penjual terlama dikompleks pesantern dengan pelanggan-pelanggan setia, kalau saja pesantern menjadi negara maka mamalah Menteri Koperasinya kata-kata yang sering terlontar dari mulut teman-temanku dan aku mengamininya karena ini adalah fakta yang tak satu orang pun membantahnya, tapi pesantern tetaplah kompleks yang sarat dengan warisan otokrasinya yang menina bobokkan dengan firman-firman Tuhan Sami’na Waata’na kami dengar dan kami taati membuat mama dan usahanya semakin terpuruk dalam ekploitasi lokal dan global dan dunia pun menjadi tempat yang semakin susah dikatakan manusiawi dengan manusianya termasuk orang yang mengaku agamawanpun dalam benakku telah menjauh dari khittahnya sebagai pembawa dan penyeruh menuju dunia dan mansyarakat yang berkeadilan sosial.
Semuanya hanyalah romantika kata mama ketika semua usaha telah dijalaninya dari menjual ubi dan sarabba, bakso dengan romantika santri lapar udah makan hilang jejak, barang campuran dengan keuntungan hilang ditelan kedasar perut anak-anaknya, pakaian dengan harga sahabat untuk keluarga, akhirnya kami semua tertawa dalam nostalgila keluarga karena semuanya hanyalah romantika yang tidak membeda-bedakan manis/pahit, sulit/mudah, berat/ ringan, punya/papa karena semua memberikan makna Romantika buat mama.satu pesan Mama: bahwa kesulitan apapun yang kita jalani sekarang akan menjadi bahan tertawaan suatu saat nanti
memaksanya meninggalkan pesantern untuk mengikuti sang suami tinggal dan berkebun di Bungku Kab.Poso, mungkin rindu seprti inilah yang memberikan kekuatan yang sangat dahsyat kepada Romeo ketika harus memanjat tembok tinggi dengan penjagaan ketat hanya untuk sekedar menemui kekasih sejatinya atau mungkin kerinduannya malah seperti kerinduan majnun kepada laila harus menerima gelar “majnun”(gila)
karena memeluk tembok rumah laila lalu keluar kata-kata gila dari kerongkongan dan pita suaranya “bukan karena tembok ini aku memeluknya tetapi karena penghuni di balik tembok ini yang sebenarnya aku peluk”, tapi konflik horizontal yang terjadi Tahun 1998 yang katanya karena kecemburuan sosial atau mungkin alasan yang lebih spekulatif yaitu politik, memaksa mama dan mama-mama yang lain meninggalkan suami-suami mereka dengan truk menuju ke Selatan(sul-sel) seperti yang dialami penduduk muslimah di belahan dunia lain yang harus minggat dari kenangan rumah dan tanah air mereka hanya karena kerakusan bangsa-bangsa superpower yang menginginkan kekayaan alam negeri mereka dan ketika itu si bungsu (Solahuddin al-Ayyubi) masih berumur kurang lebih satu tahun setengah lengkaplah derita perjalan ini yang menempuh jarak sekitar seribu kilo dengan kondisi jalan yang luar biasa banyak lubang seperti lubang kuburan. Tapi bukan mama lemah yang harus menerima sekaligus menanggung kenyataan bahwa biaya pendidikan untuk anak-anaknya di negeri ini diluar kemampuannya dengan penghasilan ga’de2nya tidak gede’ yang sudah diambang kepasrahan dan keyakinan akan adanya sang pembagi reski yang ia yakini Tuhan yang maha adil. Pernah mama harus menanggung biaya pendidikan untuk tiga mahasiswa yang semuanya di Universitas Swasta, satu orang siswa SMA dan satu lagi SMP disamping biaya susu si kecil yang ketika cacatan ini aku ketik ia sudah besar bersamaan dengan besarnya uang jajannya tiap hari.
Mama bukanlah orang kaya juga bukan dari keluarga besar yang siap membantu setiap saat pembayaran semester anak-anaknya telah menganga dengan tatapan mata orang-orang tata usaha kampus yang usahawan dan sebentar lagi jadi jutawan tapi ia hanya kaya harapan dan keyakinan akan kehidupan yang lebih layak untuk anak-anaknya melalui investasi jangka panjang yaitu pendidikan padahal ia bukan termasuk orang-orang beruntung dapat mengecap manisnya pendidikan, mungkin perjalanan hijrahlah ke pesantern yang menyadarkan mama akan pentingnya pendidikan khususnya pendidikan agama, sedari awal mama hanya mengharapkan perbaikan dan kebaikan ahklak anak-anaknya akan terbentuk dengan pendidikan agama dan itu bukan isapan jempol semata semua pendidikan anak-anaknya mulai tingkat SD sampai jenjang SMA ditamatkan di pesantern. Ia bangga melihat bahwa semua ritual formal agama menjadi bagian dari kehidupan anak-anaknya termasuk aku sang mantan calon kandidat Ustad Kabir ketika aku harus hijrah ke pesantren Cab.Gowa untuk persiapan menjadi dai-dai handal untuk cabang-cabang pesantern yang telah tersebar di hampir seluruh indonesia.
Dunia semakin tua kata para peneliti begitupun dengan mama yang mulai berambut putih dan pendidikan pun harus dilanjutkan kejenjang yang lebih tinggi setinggi biayanya yang meroket tapi satu yang tidak berubah kekuatan finansial mama naas jalan ditempat kalau bukan malah merosot tajam bersamaan dengan mengendornya permukaan kulit diwajahnya, tapi semangat mencari biaya pendidikan sedikitpun tidak memperlihatkan tanda-tanda ketuaan dan kelemahan fisik. Satu alasan untuk semua “cinta” jawabnya suatu ketika pertanyaan itu terlontar dari kerongkonganku dan aku sedikit malu menganggapnya orang tua pemarah. Kapabilitas dan integritas mama dengan kunci kejujuran dalam usaha menjadi jawaban atas konsistensinya selama kurang lebih 20 tahunan menjadi penjual terlama dikompleks pesantern dengan pelanggan-pelanggan setia, kalau saja pesantern menjadi negara maka mamalah Menteri Koperasinya kata-kata yang sering terlontar dari mulut teman-temanku dan aku mengamininya karena ini adalah fakta yang tak satu orang pun membantahnya, tapi pesantern tetaplah kompleks yang sarat dengan warisan otokrasinya yang menina bobokkan dengan firman-firman Tuhan Sami’na Waata’na kami dengar dan kami taati membuat mama dan usahanya semakin terpuruk dalam ekploitasi lokal dan global dan dunia pun menjadi tempat yang semakin susah dikatakan manusiawi dengan manusianya termasuk orang yang mengaku agamawanpun dalam benakku telah menjauh dari khittahnya sebagai pembawa dan penyeruh menuju dunia dan mansyarakat yang berkeadilan sosial.
Semuanya hanyalah romantika kata mama ketika semua usaha telah dijalaninya dari menjual ubi dan sarabba, bakso dengan romantika santri lapar udah makan hilang jejak, barang campuran dengan keuntungan hilang ditelan kedasar perut anak-anaknya, pakaian dengan harga sahabat untuk keluarga, akhirnya kami semua tertawa dalam nostalgila keluarga karena semuanya hanyalah romantika yang tidak membeda-bedakan manis/pahit, sulit/mudah, berat/ ringan, punya/papa karena semua memberikan makna Romantika buat mama.satu pesan Mama: bahwa kesulitan apapun yang kita jalani sekarang akan menjadi bahan tertawaan suatu saat nanti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar