Ubah Amarahmu jadi TAWA

Judul            : Ubah Amarahmu Menjadi Tawa
Pengarang  : Andrias Harefa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Soft Cover)
Terbit            : September 2009
Halaman      : 192
Ukuran         : 135×200
Harga: Rp. 32.000,-

Apakah Anda mengenal seseorang yang dianggap oleh lingkungan di sekitarnya sebagai pemarah? Apakah Anda punya teman kantor, tetangga dekat rumah, kawan beribadah di mesjid, gereja, atau pura, yang temperamental sehingga kurang disukai orang lain? Atau apakah Anda memiliki kerabat dekat yang mengaku bahwa ia sulit mengendalikan emosinya belakangan ini?


Bagaimana dengan Anda sendiri? Apakah Anda mudah mengendalikan amarah yang muncul dalam situasi tertentu? Tahukah Anda apa dampak amarah bagi tubuh dan kesehatan Anda? Apakah Anda merasa perlu mengembangkan kecerdasan emosional dalam aspek pengendalian emosi? Pernahkah Anda mengalami atau menyaksikan hancurnya hubungan antar insan karena pengungkapan emosi yang tak terkontrol?

Buku ini memuat berbagai fakta dan data hasil penelitian mengenai dampak amarah bagi hidup dan pekerjaan kita. Awalnya, saya tertarik mengumpulkan hasil-hasil penelitian itu untuk mengingatkan diri saya sendiri agar tidak ”memberi pupuk” terhadap perilaku marah yang kadang muncul. Saya ingin belajar menertawakan berbagai situasi sulit dan tantangan yang menghadang upaya saya mencapai tujuan-tujuan kehidupan. Saya tidak sekadar ingin bisa tertawa, tetapi ingin menjadi mahir dalam soal tawa (tanpa harus menjadi pelawak, tentunya).

Namun, belakangan saya merasa bahwa kumpulan catatan ini akan berguna juga bila diketahui umum. Itu sebabnya saya meminta kawan muda Hendri Bun mengumpulkan catatan mengenai hal ini dan sekaligus merangkumnya dalam satu format seperti yang sekarang dinikmati pembaca.

Buku ini memungkinkan pembaca untuk tidak saja menyadari bahaya kebiasaan marah, tetapi sekaligus juga mampu tertawa-ria mencermati isinya. Sebab, disamping hasil-hasil penelitian disertakan sejumlah cerita lucu pemancing tawa.

Hasil penelitian dipaparkan untuk meningkatkan kesadaran bahwa emosi (amarah) itu masalah yang serius dan perlu disiasati cara penanganannya. Amarah yang tak terkendali bisa merusak hubungan baik yang sudah lama terbina. Itu pasti. Banyak orang kehilangan pasangan karena luapan emosi yang tak terkendali. Sejumlah hubungan kerja yang rusak juga berakar dari kemarahan dan dendam kesumat. Perkelahian dan pertengkaran dipicu oleh emosi ini. Dan secara fisik, emosi ini juga menyumbang terhadap munculnya berbagai macam penyakit seperti jantung, depresi, bahkan stroke. Jadi, ini benar-benar sesuatu yang serius.

Sementara cerita lucu dimaksudkan sebagai bekal awal untuk mengelola emosi dengan lebih baik. Cerita-cerita lucu berfungsi untuk meningkatkan rasa humor pembaca. Sebab rasa humor itu bukan bakat, melainkan pola pikir (mindset), karenanya bisa diitingkatkan. Seseorang dianggap memiliki pola pikir humoris apabila ia sudah mampu menertawakan dirinya, khususnya menertawakan keinginannya untuk marah.

Dalam konteks ini, role model yang saya kagumi adalah K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Tidak kurang tantangan dan kesulitan hidup yang menghadang jalan Gus Dur dalam memperjuangkan hadirnya demokrasi yang sekarang kita nikmati ini. Terhadap berbagai tekanan dan tantangan itu (terutama pada periode Orde Baru dulu), Gus Dur—meminjam judul salah satu bukunya—melakukan perlawanan dengan cara yang unik, yakni : ”Melawan dengan Lelucon”. Hemat saya, melawan dengan lelucon itu memerlukan kejeniusan luar biasa. Dan Gus Dur memang saya anggap jenius. Masalahnya, saya curiga bahwa kejeniusan Gus Dur justru berkembang bersamaan dengan tumbuhnya rasa humor itu sendiri; bahkan, jangan-jangan Gus Dur menjadi jenius karena rajin memupuk rasa humor sejak usia dini.

Gus Dur juga pandai membingkai persoalan-persoalan yang rumit menjadi sesuatu yang sederhana, dan kerap mengatakan kalimat yang menjadi salah satu ciri khasnya: ”Gitu saja kok repot!”. Bagi saya, itu sebuah pencapaian yang luar biasa. Dan lagi- lagi saya ”curiga” bahwa kemampuan ini bertalian dengan rasa humor.

Saya sepenuhnya sadar bahwa Anda memang tidak bisa memilih berbagai situasi dan peristiwa yang datang menghampiri hidup Anda. Seperti Gus Dur yang tidak bisa memilih apa yang dilakukan regim Orde Baru terhadapnya. Namun, seperti juga Gus Dur yang mengagumkan itu, Anda diberi kuasa yang luar biasa untuk memilih dan menentukan respons atau tanggapan Anda terhadap berbagai peristiwa dan situasi yang Anda hadapi. Kemampuan ini sungguh penting untuk terus menerus dikembangkan sesuai dengan arah tujuan hidup yang Anda tetapkan. Dan saya berharap buku ini menjadi tambahan bekal untuk memberikan respons positif terhadap aneka peristiwa yang datang silih berganti dalam karier dan kehidupan Anda.

Akhirnya, saya perlu mengatakan bahwa buku ini ditulis dengan asumsi utama: Anda selalu bisa memilih di antara ”menjadi marah” atau ”menjadi tertawa” ketika situasi dan peristiwa tak menyenangkan menghampiri Anda. Dan saya menyarankan agar Anda belajar—seperti yang juga saya lakukan—untuk lebih sering tertawa, bahkan sampai bisa menertawakan keinginan Anda untuk menjadi marah. Dengan cara ini hidup akan menjadi jauh lebih indah untuk dinikmati.

Hidup cuma sekali, mengapa memilih suka marah-marah? Pilih dan latihlah diri Anda untuk tertawa, lalu lihat apa yang terjadi.

Salam huahahahahaha,

Andrias Harefa, dibantu Hendri Bun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar