Reformasi Tak Bermoral

Reformasi Tak Bermoral- Ada ungkapan dari kultur jawa, anjing-anjing besar kalau berkelahi akan selalu menang. Itu jelas dalam kasus lapindo,Bank Century dan Mafioso Perpajakan(untuk tidak mengatakan PEMALAKAN). Bahkan dalam kultur belanda ada ungkapan bahwa anjing-anjing besar tidak akan saling menggigit. Itu yang tampak dewasa ini. Jadi, perjuangan untuk kebenaran dan keadilan, apalagi untuk kesejahteraan rakyat kecil merupakan perjuangan yang panjang, lama, berbelit, sangat meresahkan, menderita dan acap sering berdarah. Puncak perjuangan demikian bisa membawa akibat revolusi, dimana revolusi makan anaknya sendiri atau revolusi yang tidak berdarah seperti di inggris di masa lalu atau seperti di Rusia yang begitu berdarah atau seperti si Cina.
 Hak Asasi Manusia (HAM) bukan pemberian siapa-siapa, tetapi pemberian Tuhan. Secara ”resmi” meskipun profan, diminculkan setelah perang Dunia II yang sangat berdarah itu. HAM sering dijadikan slogan belaka yang tak

bermakna. Ada yang berteriak HAM, tetapi dia sendiri memperkosa HAM. Mereka ini mengklaim sebagai pembela HAM, tetapi merusak acapkali membunuh dan berteriak seolah-olah mendapat mandat dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Apalagi HAM yang menyangkut Hukum dan kebebasan beragama sangat meresahkan dan menyedihkan di Indonesia. Aparat penegak Hukum cuma melongo, membisu bahkan terlambat bertindak bahkan ada beberapa tokoh yang menganggapap kekerasan atas nama agama akhir-akhir ini adalah pembiaran atau Rekasa sebagai pegalihan kasus-kasus besar di Negara Pembohong ini.
    Mantan Presiden Soeharto(almarhum) dilengserkan akibat konspirasi para ”Brutus” nya sendiri. Para mahasiswa Cuma dijadikan tombak reformasi. Sejarah seolah-olah berulang. Reformasi seoalah-olah berjalan tetapi di tempat. KKN merajalela dan ibarat penyakit kanker, tumbuh makin ganas disemua lapisan kehidupan berbangsa dan bernegara dari sabang sampai Jayapura. Fenomena puncak KKN tampak seperti BLBI, jaksa ”dagang” permata berlian, bocoran uang dari Bank Sentral bagi para Legislator dan berbagai simsalabin di birokasi dan legislasi di seluruh penjuru tanah air. Bencana alam berupa bancir sesungguhnya ulah manusia sendiri akibat Ilegal Logging. Partai-partai politik di luar senayan berusaha menerobos masuk, sedangkan yang di dalam berkutat melalui berbgai Undang-undang agar mereka terus berkuasa. Sistem pemerintahan yang tak jelas maknanya. Semua serba amburadul dan bisa diatur asal ada ”fulus”.
 Kekuran gizi di kalangan balita merajalela dan di sentra kekuasaan tumbuh berkembang rumah-rumah mewah. Rumah-rumah sederhan tidak jelas nasibnya. Anda Cuma bisa saksikan kehidupan rakyat jelata di tepi sungai tanpa air bersih dan sanitasi. Mandi, cuci, berak, semua disitu. Siapa yang akan memperhatikan mereka? Nanti, pada pemilu berikutnya,baru akan muncul janji-janji gombal dan operasi sembako serta bagi-bagi uang di pagi hari(bahasa kerennya SERANGAN FAJAR).
    Tentang keadilan dan peradilan jangan lagi diharapkan. Bau busuk mulai dari kepala ikan. Mahkamah Konstitusi dalam kiprahnya acap membingungkan. Komisi Yudisial mencoreng mukanya sendiri. Immortality meraja lela dimana-mana. Para pemimpin, para birokrat, dan para legislator serta penegak hukum ibarat dongeng di dunia Barat di mana yang berkuasa naik kuda tanpa busana. Para kawula tunduk kepala bukan untuk menghormati yang berkuasa, tetapi tunduk kepala karena malu melihat junjungan mereka naik kuda tanpa busana dan tanpa disadari. Bayangkan apakah ini zaman edan, saya tidak tahu.

Hukum selalu dipersalahkan, padahal hukum bukan persona, (manusia). Hukum justru dibuat olah DPR dan pemerintah. Keduanya disebut pembentuk Undang-undang. Jadi kalau mau dipersalahkan, persalahkan pemerintah, terutama DPR, yang lebih berkuasa akibat amandemen UUD 1945.
    Apakah para pemimpin kita bisa berujar seperti di Cina bahwa ada 100 peti mati untuk KKN ” kami(pemimpin) sediakan 99 peti mati untuk mereka yang ber-KKN dan 1 peti mati untuk saya sendiri sebagai pemimpin kalau saya melakukan KKN”
    Kasus lapindo mengingatkan kita pada kasus Minamata di Jepang. Para nelayan yang makan ikan dari teluk Minamata semuanya menderita penyakit aneh, lalu mati, termasuk kucing-kucing mereka yang berjalan terseok-seok masuk dalam air laut. Pembuktian bahwa ada kontaminasi merkuri berjalan lama sekali. Bahkan para sarjana juga tampak bisa diatur seperti di Indonesia. Akhirnya terbukti bahwa pabrik di Minamata mencemarkan merkuri.
Memang manusia rakus ibarat api. Api tidak pernah kenyang. Begitu juga manusia konklomerat rakus. Mereka lupa bahwa meraka lahir telanjang dan mati juga telanjang. Tubuh mereka Cuma diberi kain kafan atau pakaian terbagus dan dalam liang lahat diberi beberapa keping papan(peti).

Semuanya akan busuk dan hancur. Kekayaan mereka pasti tidak bisa dibawa serta oleh meraka. Semuanya sia-sia belaka karena berakhir di neraka meskipun selalu terus didoakan. Qua Vadis. 
edit dikit dari Tulisan Oleh : Prof. Dr.JE Sahetapy
Guru Besar Universitas Airlangga Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar