Oleh Meicky Shoreamanis Panggabean*
Di penjara tidak ada yang gratis…Untuk mendapatkan uang, setiap napi harus mengeluarkan uang. Tahanan dan napi sungguh tidak berdaya dalam cengkeram gurita penguasa penjara (xi).
Belum sampai kita pada halaman satu, mata kita sudah akan tertumbuk pada rangkaian kalimat di atas. Baharmi, wartawan sebuah harian di Surabaya, memang sepertinya berupaya total saat menulis buku ini. Pengalamannya di lapas Medaeng, Surabaya, menjadi napi selama 973 hari, yang lantas ia abadikan menjadi judul buku, diuraikan dengan sangat jujur dan kerap dengan menggunakan bahasa yang bisa membuat telinga gatal.
Bagi mereka yang biasa berbahasa secara elegan, pada mulanya menelusuri halaman demi halaman dari buku yang sarat gambar berukuran mini ini bisa jadi akan menimbulkan masalah. Di rak-rak toko buku, kita bisa menemukan beberapa judul tulisan yang mengungkapkan apa yang sesungguhnya berlangsung di dalam penjara namun hanya buku ini yang dengan cueknya menggunakan bahasa yang kerap terkesan vulgar. Dan, persis, justru inilah kelebihannya:Baharmi tidak hanya berusaha menyodorkan penjara ke depan mata kita. Ia berusaha menarik kita masuk. Ia tak hanya menjabarkan pengalamannya, ia memberi kita kesempatan untuk menghisap saripati kehidupan seorang narapidana:Keras, kasar, tidak logis, berbanding terbalik dengan keseharian hidup di masyarakat namun pada saat yang sama juga merupakan replika dari masyarakat.
Lepas dari beberapa kesalahan berbahasa dan struktur yang bisa disusun dengan lebih sistematis, buku ini menarik untuk dibaca karena karakter penulisnya yang jauh dari munafik. Kejujurannya, walau sangat mungkin ini membuat keluarganya kalang-kabut, menjadi nilai lebih yang membuat pembaca bisa amat menghargainya. Dari semua buku mengenai penjara yang ditulis 5 tahun terakhir ini oleh mantan napi Indonesia, karya pria yang sekarang masih aktif menulis ini jelas sekali adalah produk yang paling jujur, atau mungkin bahkan gila. Bayangkan, tanpa segan Baharmi mengungkapkan bahwa ia memanfaatkan fasilitas kencan dengan napi wanita (hal.36) dan ia juga secara terbuka membuka aibnya sendiri! (Hal.101).
***
Anda kenal Jhon Kei ? Jika tidak, tanyakan nama tersebut pada orang Maluku. Menyebut nama pria bertubuh kekar ini di wilayah Ambon menimbulkan sensasi serupa dengan menyebut nama Olo Panggabean di area Sumatra Utara: Bulu kuduk kita niscaya berdiri karena teringat jajaran manusia yang takut pada mereka berdua:Dari mulai anak-anak hingga petugas kepolisian, dari mulai para pengangguran sampai mereka yang ada di struktur pemerintahan dan pemilik perusahaan besar.
Preman Ambon ini, bersama-sama dengan aktor veteran Roy Marten, pernah beberapa bulan berada dalam satu tahanan dengan Baharmi dan mereka berdua rupanya meninggalkan kesan tersendiri bagi penulis sehingga ia memberikan tempat yang cukup banyak untuk mengulas keduanya. Kisah mereka berdua, kendati berbeda alurnya namun sama-sama memberi kita kesempatan untuk melihat bagaimana dua manusia—pada waktu dan tempat yang berlainan-menjalani proses metamorfosa dari manusia bebas menjadi tahanan yang tak punya kemerdekaan.
Ya, kemerdekaan. Mereka yang dipenjara seyogyanya hanya kehilangan kemerdekaan untuk bergerak namun Baharmi menunjukkan bahwa di dalam penjara masih ada penjara. Oleh karena itulah lantas penjara menjadi penting untuk direkam.Dan telah ia melakukannya. (Penulis adalah guru SMP/SMekolah Pelita Harapan, Lippo-Cikarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar