
Penulis : Drs. Sujarwa, M. Hum
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama (1), Mei 2010
Tebal : 166 halaman
Harga : Rp 40.000
Peresensi : Humaidiy AS *)
Saat ini, budaya kapitalisme dan hedonisme dengan berbagai ragam bentuknya telah menggejala begitu akutnya. Salah satunya adalah budaya konsumerisme yang tidak lain adalah kepanjangan tangan dari budaya kapitalistik yang terlihat secara mencolok dengan tegaknya pusat-pusat perbelanjaan, mall-mall, menjamurnya kafe-kafe, menjangkitnya trend mode, kontestasi idol dan sederet ikon modernitas lainnya yang ditampilkan dalam sebuah benda “ajaib” bernama televisi. Melalui corong televisi, segala ikon modernitas itu seolah menjadi pusat budaya dan “tempat ibadah” yang menawarkan simbol ideologi baru dan merasuk kuat ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Sujarwa melalui buku berjudul “Mitos-Mitos di Balik Kisah Sinetron, dalam Perspektif: Hegemoni dan Kapitalisasi” ini, secara khusus berusaha mengajak kepada pembaca untuk melihat sisi gelap pengaruh tayangan televisi dalam realitas empirik masyarakat dengan berbagai macam bentuknya. Dalam penjelasannya lebih jauh, dijelaskan secara komprehensif ihwal betapa masyarakat telah manipulasi sedemikian rupa oleh korporasi menjadi konsumen yang siap untuk dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemikiran, life style, bahkan pandangan hidup tertentu yang diciptakan oleh tayangan sinetron. Sujarwa secara tajam mengkritisi tayangan televisi (sinetron) sebatas menjadi ajang atau media menanamkan mitos lama tentang dunia misteri dan gaya hidup modern yang jauh dari realitas masyarakat(hlm. 96).
Memang, tidak ada yang salah dengan tema cinta, horor dan mistik yang diusung oleh kebanyakan sinetron karena memang laku di pasaran. Yang mengkhawatirkan adalah, eksplorasi dari sekian jalinan kisah sinetron yang bertebaran di televisi cenderung tidak mengandalkan inovasi yang kreatif, cenderung melecehkan akal sehat, di buat dengan terburu-buru (kejar tayang) tanpa ada riset yang memadai dan tidak menghormati proses produksi yang profesional. Akibatnya, sinetron tidak lebih menjadi tontonan yang semu dan sepi bahkan kontras dengan realitas sebenarnya.
Segala tayangan yang ditawarkan oleh televisi, dalam pandangan penulis buku ini cenderung hanya menawarkan pola prilaku konsumerisme, hedonisme, glamouritas dan pragmatisme tanpa batas. Bagaimana tidak, tayangan sinetron tentang keluarga bahagia digambarkan dengan suasana rumah mewah dan mobil mahal telah menghegemoni masyarakat pada defenisi serupa.
Selain itu, bermunculannya kuis-kuis berhadiah jutaan rupiah turut membawa imajinasi peserta pada harapan-harapan hidup dengan penuh kemewahan tanpa disertai oleh proses kerja keras. Di sadari atau tidak, sedikit banyak, tayangan seperti itu telah membentuk kesadaran berfikir masyarakat tentang nilai-nilai baik- jahat, indah-buruk, benar-salah dan seterusnya. Pada bagian yang lain, Ideologi pasar yang menghegemoni perempuan dengan propaganda sensualitas dan seksualitas perempuan menjadi senjata mujarab bagi para kapitalis untuk mendongkrak rating penonton. Dalam mengekalkan ideologi pasar itulah, para kapitalis atau pemilik modal mampu membaca tren pasar tetap berada pada kaum hawa, sehingga keberadaan mereka tidak lebih hanya sebagai daya tarik cerita. “Kacamata” ini dipegang teguh untuk menjadi jurus utama dalam komoditi produksi sinetron di negeri ini.
Kondisi masyarakat seperti ini tentu saja menjadi “lahan empuk” bagi para pelaku bisnis. Program-program yang disusun oleh pemilik televisi lebih banyak berorientasi untuk kepentingan bisnis semata. Ideologi bagi pemiliki televisi adalah kapitalisme. Kapitalisme dalam bentuknya saat ini adalah kapitalisme yang tidak berlandaskan pada apa pun (Tuhan, sosial, etika-moralitas, Kultural), melainkan oleh satu “keyakinan”, yaitu keyakinan kapital. Sehingga tidak menjadi persoalan pelik manakala sebuah tayangan menabrak moralitas, melanggar etika agama maupun norma masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah program televisi dapat meningkatkan rating sebagai cara perputararan kapital. “Rating”-lah yang menjadi ideologi televisi kapitalistik yang harus selalu diperjuangkan, meskipun kalau perlu dengan melabrak segala batas-batas yang ada (hlm. 28).
Tentu semua itu sah-sah saja, namun melupakan peran televisi sebagai sarana pendidikan bagi masyarakatnya adalah sebuah ironi kebudayaan. Penulis dengan sangat lugas juga mengurai kerprihatinannya dengan memberikan catatan kritis terhadap pemerintah dan badan pengawas pertelevisian yang “ompong” jika dihadapkan pada kepentingan kapitalis.
Walhasil, melalu buku ini, Sujarwa menghimbau para pengelola televisi sejatinya memahami fungsi media tersebut. Apa pun jargon dan motivasi mengudaranya sebuah stasiun televisi, visi eksistensinya sudah semestinya membawa peran sebagai sarana edukasi bagi masyarakat pemirsanya. Meskipun bersifat non-formal, peran televisi sebagai sarana pendidikan terbukti memiliki daya jangkau yang luas. Oleh karenanya, program acara-acara yang ditayangkan, sudah selayaknya memperhatikan kepentingan maslahat (kebaikan) bagi bangsa dan masyarakat luas. Dengan demikian, wacana sosial-budaya yang digagas dalam setiap segmennya, tetap memperhatikan nilai-nilai dan aspek lingkungan binaannya, yaitu masyarakat suatu bangsa.
Terlepas dari kekurangannya, isi buku ini amat berharga tidak hanya sebagai telaah kritis atas realitas yang melanda masyarakat kita, khususnya ditengah kepungan tayangan sesat televisi yang mengusung budaya kapitalistik. Lebih dari itu, kehadiran buku ini juga layak menjadi panduan bagaimana seharusnya merespon setiap perubahan-perubahan di masa depan.
*) Peresensi adalah Pustakawan pada MTs Ali Maksum dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar