Tampilkan postingan dengan label HUKUM POLITIK. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM POLITIK. Tampilkan semua postingan

Reformasi Tak Bermoral

Reformasi Tak Bermoral- Ada ungkapan dari kultur jawa, anjing-anjing besar kalau berkelahi akan selalu menang. Itu jelas dalam kasus lapindo,Bank Century dan Mafioso Perpajakan(untuk tidak mengatakan PEMALAKAN). Bahkan dalam kultur belanda ada ungkapan bahwa anjing-anjing besar tidak akan saling menggigit. Itu yang tampak dewasa ini. Jadi, perjuangan untuk kebenaran dan keadilan, apalagi untuk kesejahteraan rakyat kecil merupakan perjuangan yang panjang, lama, berbelit, sangat meresahkan, menderita dan acap sering berdarah. Puncak perjuangan demikian bisa membawa akibat revolusi, dimana revolusi makan anaknya sendiri atau revolusi yang tidak berdarah seperti di inggris di masa lalu atau seperti di Rusia yang begitu berdarah atau seperti si Cina.
 Hak Asasi Manusia (HAM) bukan pemberian siapa-siapa, tetapi pemberian Tuhan. Secara ”resmi” meskipun profan, diminculkan setelah perang Dunia II yang sangat berdarah itu. HAM sering dijadikan slogan belaka yang tak

Perang Setengah Hati

Genderang perang terhadap korupsi dan koruptor sudah lama ditabuh, bahkan sejak proklamasi kemerdekaan. Terakhir, ketika reformasi digulirkan, satu di antara tuntutan rakyat adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Rakyat muak akan korupsi di lingkungan kekuasaan, tempat keluarga pejabat dan para kroni berjemaah menjarah uang rakyat. Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo sempat berujar anggaran belanja negara bocor sekitar 20 persen setiap tahun. Angka 20 persen adalah angka fantastis, tapi banyak pengamat menduga kebocoran itu lebih dari 20 persen.

Setiap proyek bisnis yang beroperasi di Indonesia terpaksa atau dipaksa bermitra dengan anak pejabat atau kroni yang sering mendapatkan saham kosong. Modal mitra lokal hanyalah izin penanaman modal yang mereka dapatkan dari orang tua atau kolega mereka. Tak ada kompetisi, tak ada equality of opportunity. Menjadi anak pejabat atau kroni sudah dengan sendirinya menjadikan seseorang berharga sebagai mitra bisnis. Jadi jangan heran jika elite pengusaha kita pada masa Orde Baru adalah elite yang terdiri atas anak-anak pejabat dan kroni yang kebanyakan tak becus, hanya jadi boneka atau silent partner pemodal asing. Sebagian tentu berhasil membangun imperium bisnis yang sukses, tapi kebanyakan hanyalah benalu yang terbenam ketika kekuasaan mereka hilang.

Kedigdayaan Mafioso

 Mulai pengamat, praktisi hukum, akademisi, artis, hingga tukang sayur di pasar yang diwawancarai wartawan menyebutkan putusan tujuh tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada Gayus Tambunan sangat ringan. Putusan hakim dituding tidak menghargai perasaan keadilan di masyarakat. Terlepas dari tuduhan sebagian anggota masyarakat tentang vonis yang dijatuhkan hakim kepada Gayus, yang jelas dari sekian banyak penilaian itu, ada suatu konklusi bahwa dunia peradilan atau komunitas hakim masih kalah digdaya jika dibandingkan dengan mafioso. Kalangan mafioso yang dibenci masyarakat, dalam realitasnya, masih menjadi kelompok elite yang dibela dan ditahbiskannya.

18 Kebohongan,18 Instruksi Presiden dan 7 Pernyataan Tokoh Agama,,,,

MEDIA INDONESIA. PARA tokoh lintas agama berkumpul pada Senin (10/1) di kantor Dakwah PP Muhammadiyah, Jakarta. Mereka adalah Syafii Maarif, Andreas A Yewangoe, Din Syamsuddin, Pendeta D Situmorang, Bikkhu Pannyavaro, Shalahuddin Wahid, I Nyoman Udayana Sangging, Franz Magnis Suzeno, dan Romo Benny Susetyo.

Ke-9 tokoh agama ini mengungkapkan kebohongan pemerintah yang tertuang dalam 'Pernyataan Publik Tokoh Lintas Agama Pencanangan Tahun Perlawanan Terhadap Kebohongan'. Berikut 9 kebohongan lama pemerintah:

1. Pemerintah mengklaim bahwa pengurangan kemiskinan mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal, data penerimaan beras rakyat miskin pada 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.

Politik dan Hukum Mencintai KORUPSI

KORUPSI dibenci seantero dunia karena kejahatannya luar biasa bagi kemanusiaan. Karena itu, dunia menetapkan 9 Desember, hari ini, sebagai Hari Antikorupsi. Dibutuhkan perang global karena korupsi amat menggiurkan sehingga banyak negara yang hanya mampu berperang di mulut, tetapi di hati tidak.

Tahun lalu, Hari Antikorupsi dirayakan dengan sangat kolosal dan sarat cemoohan dari khalayak di Jakarta. Yang menonjol adalah hadirnya seekor kerbau yang diberi nama penuh sindiran. Untuk kali ini, polisi melarang pelibatan binatang bukan karena takut disindir, melainkan lebih pada kerisauan terhadap keselamatan umum.

Bila kita jujur dan jernih melakukan resensi terhadap perang melawan korupsi di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, haruslah dikatakan bahwa perang itu mandek. Mandek karena pedang yang dihunus tidak membabat dan sapu yang kotor masih dipakai untuk menyapu.

Mengoreksi Demokrasi di Negeri ini


PESTA reformasi yang berlangsung sejak 1998 nyaris menenggelamkan bangsa ini dalam euforia berlebihan. Demokrasi disujud sebagai dewa penyelamat yang bisa menyelesaikan seluruh masalah bangsa ini. Serentak dengan itu, rezim Orde Baru dianggap tidak mewariskan satu pun hal yang bisa diteladani. Orde Baru menjadi stigma yang harus dikubur dalam-dalam dan diberangus karena otoriter dan korup.

Kini, setelah dua kali melaksanakan pemilihan umum presiden secara langsung dan ratusan pemilihan kepala daerah juga secara langsung, kita harus menimbang kembali banyak hal. Antara lain, kita prihatin karena pemilu hanya dimaknai sebagai medan pertarungan untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan politik uang.