Orang-orang yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?
Rakyat jelata selalu berada dalam kekalahan sistemik. Gurita kemiskinan dan kebodohan yang terus mencengkeram rakyat jelata terjadi bukanlah dengan alami, melainkan terjadi kooptasi secara sistemik yang dijalankan kaum pemegang kebijakan. Berkali-kali rakyat bersuara, tetapi kebijakan tetaplah hak milik penguasa. Suara rakyat hanyalah ratapan tak berguna, karena kaum penguasa sudah mati rasa, sensitifitas membela rakyat terus memudar, dan menggunakan kelengkapan alat negara untuk memaksakan kehendak kekuasaan. Rakyat semakin kerdil, tak berdaya, dan berada di lubang nista yang menyesakkan.
Nasib tragis memang selalu menimpa rakyat jelata. Terlebih kaum aktivis yang berjuang mati-matian untuk menegakkan hak rakyat. Tatkala Orde Baru berkuasa kita bisa melihat fakta tragis kaum aktivis yang dipenjara, bahkan terbunuh karena begitu getol memperjuangkan hak rakyat. Iya, negara hadir untuk mengalahkan rakyatnya sendiri secara paksa. Gerakan rakyat juga dipaksa untuk kalah, dan negara mempunyai alat untuk memaksa gerakan rakyat.
Kegelisahan ihwal kekalahan rakyat inilah yang direkam dalam buku bertajuk “Orang-orang yang Dipaksa Kalah: Penguasa dan Aparat Keamanan Milik Siapa?”. Saur Tumiur Situmorang dan kawan-kawan memotret korban kekerasan dan korban pelanggaran HAM serta kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat. Para penulis terdorong untuk masuk untuk meneliti institusi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Bagi penulis, perjuangan keadilan bagi rakyat bukanlah semata perjuangan untuk pemulihan martabat rakyat, tapi juga pemulihan martabat manusia seluruhnya.
Tragedi-tragedi kekerasan yang telah menimpa rakyat Indonesia sebagaimana tragedi 1965, tragedi malari, tragedi Priuk, tragedi 1998, dan sebagainya menjadi catatan kelam atas nasibn tragis rakyat Indonesia. Tragedi-tragedi tersebut mengindikasikan bahwa kekuasaan di Indonesia hanyalalah berdaulat di tangan kaum elite. Tidak ada kedaulatan rakyat di Indonesia, karena kekuasaan digerakkan segelintir orang saja. Rakyat yang mencoba ikut serta dalam proses penciptaan bangsa ternyata malah dianggap separatis, makar, dan stereotip lainnya. Akhirnya, militer datang untuk menumpas gerakan rakyat.
Kita bisa melihat tragedi 1965 tatkala militer membasmi habis mereka yang diduga terlibat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Bahkan tidak sedikit perempuan yang disiksa akibat diduga tersindikat dengan PKI. Para petani kecil juga ikut disiksa dan dibunuh. Militer begitu perkasa membasmi rakyat. Padahal, rakyat kecil itu tidak tahu konflik politik di tingkat atas, tetapi mereka justru menjadi korban yang mengenaskan. Demikian juga yang terjadi dengan tragedi 1998, dimana terjadi kekerasan massal di Jakarta yang menimpa para warga Tionghoa. Semua berjalan dengan tragis, negara justru diam di tengah rakyat yang nestapa.
Karena itulah, Saur Tumiur Situmorang dan kawan-kawan menggugat itu semua. Ada indikasi yang terekam dalam buku ini bahwa kekuasaan dan aparat keamanan ternyata milik kaum elite saja. Kaum bawah hanyalah pengisi pos marginal yang terus dipaksa kalah oleh kaum elite penguasa. Parade kekerasan yang terus dipaksakan elite negara membuat kekuasaan begitu despotik menjalankan pemerintahan. Despotisme negara terus hadir bersama teror-teror baru yang mengerikan, tak peduli lagi dengan etika politik dan kekuasaan.
Penulis : Saur Tumiur Situmorang dkk
Penerbit : Buku Obor Jakarta
Cetakan : 1, Juni 2010
Tebal : xii + 234 halaman
Penerbit : Buku Obor Jakarta
Cetakan : 1, Juni 2010
Tebal : xii + 234 halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar