Kedigdayaan Mafioso

 Mulai pengamat, praktisi hukum, akademisi, artis, hingga tukang sayur di pasar yang diwawancarai wartawan menyebutkan putusan tujuh tahun penjara yang dijatuhkan hakim kepada Gayus Tambunan sangat ringan. Putusan hakim dituding tidak menghargai perasaan keadilan di masyarakat. Terlepas dari tuduhan sebagian anggota masyarakat tentang vonis yang dijatuhkan hakim kepada Gayus, yang jelas dari sekian banyak penilaian itu, ada suatu konklusi bahwa dunia peradilan atau komunitas hakim masih kalah digdaya jika dibandingkan dengan mafioso. Kalangan mafioso yang dibenci masyarakat, dalam realitasnya, masih menjadi kelompok elite yang dibela dan ditahbiskannya.

Di saat negara atau jagat hukum sedang dituntut supaya membersihkan dirinya dari sepak terjang mafioso, justru tidak sedikit atau sering kita temukan kekuatan elite pejabat dari kalangan politikus maupun yudisial yang membela mafioso (koruptor). Pembelaan itulah yang mengakibatkan koruptor memperlakukan dirinya sebagai petarung yang memenangi pertarungan. Titik balik yang lebih luas akhirnya terjadi dalam bentuk tampilnya sejumlah orang atau kelompok yang terjebak membela koruptor, sementara institusi yang berusaha menjadi mesin pemberantas korupsi dan penjaga citra negara hukum sudah distigmakan publik sebagai institusi yang mandul, impoten, atau setidaknya terancam kesulitan mengerahkan segenap kemampuan untuk melawan koruptor.

AM Rahman Badai Serigala (2008) menyebutkan 'belalah koruptor, negeri pasti terkapar, belalah koruptor, negeri pasti telantar, belalah koruptor, negeri pasti terbakar, belalah koruptor, negeri pasti terkubur, belalah koruptor, rakyat pasti lebur'. Seharusnya koruptor memang tak perlu dibela. Pasalnya, ia musuh bersama (common enemy) rakyat dan negara. Sayangnya, banyak unsur masyarakat dan bangsa ini yang lebih suka berkawan atau menjalin 'persaudaraan' dekat dengan koruptor jika dibandingkan dengan memikirkan kepentingan makro bangsa. Saat belum bertemu koruptor atau memasuki jaringan mafioso, oknum aparat penegak hukum atau pilar institusi yang diberi mandat menjalankan misi jihad melawan koruptor gampang berkoar bahwa korupsi akan dihabisi atau dibersihkan dari Bumi Pertiwi ini. Namun setelah berdekatan dan dimanjakan koruptor, mereka lantas kehilangan jiwa independensi dan bahkan berbalik memberikan ruang kepada koruptor untuk merumuskan dan menerapkan jurus-jurus yang bisa menghabisi atau mengamputasi sakralitas kinerja aparat penegak hukum.
Siapa pun pengemban amanat atas keberlanjutan dan 'kesehatan' bangsa ini yang masih berpikiran normal tentulah mengakui korupsi merupakan kejahatan yang terbilang serius, penyakit kanker yang potensial menghancurkan dan mengubur negeri ini. Siapa yang menganggap remeh, apalagi menafikan, urusan korupsi berarti menyerahkan nasib rakyat negeri ini ke tiang gantungan kematian. Masih tetap bersamainya kasus korupsi atau mencengkeramnya kekuatan sindikasi koruptor di negeri ini mengindikasikan bahwa kita selama ini masih kalah dalam pertarungan dengan koruptor atau belum menempatkan khitah moral perlawanan terhadap koruptor.
Segmen elite white collar crime itu diberikan kelonggaran tampil lebih maju, berani, dan lihai dalam menyebarkan dan menyuburkan kejahatan merek. Memang ada beberapa yang berhasil dijerat dan dikenai hukuman beberapa tahun penjara, tetapi layaknya pepatah mati satu tumbuh seribu, korupsi itu pun tetap berjalan jemawa dalam keberdayaannya. Ada beberapa orang yang berhasil dijebloskan ke penjara, tetapi beberapa orang bermunculan menunjukkan aksi akibat ketidakteguhan menjaga atau membumikan khitah moral perlawanan terhadap koruptor.
Albert Enstein, kimiawan kenamaan, pernah bilang, "Dunia ini semakin tidak aman dan damai untuk dihuni bukan karena ulah penjahat, melainkan akibat sikap kita yang membiarkan kejahatan terjadi." Pernyataan itu sebenarnya mengajarkan kepada kita supaya tak menjatuhkan sikap diam, acuh, atau bisu terhadap kejahatan yang terjadi di masyarakat. Kita diwajibkan 'melek', cepat tanggap, gampang merespons, atau cerdas terhadap berbagai bentuk perilaku kejahatan. Pasalnya, membiarkan kejahatan unjuk gigi dan berdaya sama halnya dengan membuka keran bersemainya kejahatan-kejahatan berat seperti kejahatan korupsi yang sudah digolongkan sebagai kejahatan istimewa (extra ordinary crime) itu. Akar penyebab utama menguat, mengakar, memberdaya, menstruktur, dan membudayanya korupsi adalah--di samping kehebatan dan kepiawaian koruptornya dalam menjalankan aksi-aksi kriminalisasi sistemik--sikap kita yang menoleransi, cuek, kurang kritis, dan tidak benar-benar memelekkan mata untuk mengawasi sepak terjang koruptor.
Koruptor tidak akan berani melebarkan sayap-sayap kekuatan dan 'keperkasaan' mereka atau modus kriminalitas terorganisasi mereka manakala sikap dan gerak mereka terus berada dalam pengawasan, yang pengawasannya tidak hanya dilakukan KPK. Institusi strategis itu tidak mampu sendirian menjaga citra, tetapi membutuhkan elemen masyarakat yang jujur, berani, dan militan. Kekuatan lain ini akan mengawal dan mengevaluasi kinerja objektif supaya tidak terserang berbagai jenis malapraktik profesi atau kekuasaan.
Potret negara-negara lain yang terkenal sebagai negara bersih dan berwibawa menunjukkan citra itu diraih berkat partisipasi publik dalam mengawasi dan menilai tingkat akuntabilitas kinerja pemerintahan yang sarat borok. Elemen strategis mereka membangun pola pengawasan yang menutup sekecil apa pun lubang atau kesempatan yang diniscayakan akan menumbuh suburkan mafioso. Partisipasi publik itu pun bisa jalan dengan maksimal kalau didukung keteguhan setiap pilar fundamental bangsa ini untuk menjaga khitah moral perlawanan terhadap koruptor. Kalau mafioso atau koruptor masih tetap mengisi ruang hati nurani dan diberikan tempat mencabik-cabik sumpah jabatan mereka, tidak perlulah berharap negeri ini di kemudian hari bisa terbentuk menjadi negara yang kuat di segala lini strategis.
Gayus Tambunan yang sudah diantarkan majelis hakim untuk mengisi ruang gelap (penjara) setidaknya dapat dijadikan sebagai referensi mewujudkan pendidikan moral bangsa bahwa Gayus Tambunan model apa pun di negara ini tidak akan berhenti dan selesai dalam menguji dunia hukum dan peradilan. Gayus Tambunan akan 'mati satu tumbuh seribu' manakala pola birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum masih belum membersihkan dirinya. Sosok seperti Gayus akan bisa dan mudah terlahir dari lorong birokrasi yang sarat borok. Ia hanya menjadi bagian dari kenyataan rapuhnya dan anomalitasnya birokrasi hukum dan pemerintahan yang masih rentan 'dibeli', dipermainkan, dan jadi sarang penyamun. Kalau kondisi tersbut tidak dibenahi secepat mungkin oleh pemerintah, kita sehari-hari hanya disibukkan bacaan membosankan seputar akselerasi kedigdayaan mafioso, sementara di sisi lain, aparat penegak hukum menjadi kumpulan objek yang martabatnya dipermainkan dan direndahkan.

Oleh Bambang Satriya, Guru besar dan dosen luar biasa Universitas Ma Chung dan UIN, Malang
*Prof Dr Bambang Satriya, SH.MH, penulis adalah guru besar dan dosen luar biasa
Universitas Machung dan UIN Malang, penulis buku
Etika Birokrasi

5 komentar:

  1. kenapa bisa begini tampilanna ansari????????????
    rugiku kasi minumko kopi spesial,,,,,,

    BalasHapus
  2. Tampilannya kurang nendang, tdk sesuai dgn namanya "Warung Revolusi".. ini menurut sy yah.. selera org beda2.. he3

    rendra-satria.blogspot.com

    BalasHapus
  3. @Kultur Empat betul-betul terlalu romantis themes na...

    BalasHapus
  4. Rendra@ni blog pribadi bro so,,,tampilan yang penting banget yang menjadi konsern dalah isi tulisan,,,tpi sarannya tetap ditampung bos..
    Kultur Empati@"assalam" selalu diawal kalimat sebuah Revolusi..
    infomasi teknologi@klo Revolusi iran dalah revolusi kultural dan Reformasi indonesia dalah revolusi rakyat di blog ni adalah perubahan yang berlandaskan"heart revolution" ato dengan kalimat yang bapak bisa pahami insayaallah "revolusi dengan hati" jadi sangat tepat klo themesnya Romantis tpi tidak mengurangi substansi Revolusi itu sendiri...
    diatas segalanya tengs atas komeng2nya...

    BalasHapus