Genderang perang terhadap korupsi dan koruptor sudah lama ditabuh, bahkan sejak proklamasi kemerdekaan. Terakhir, ketika reformasi digulirkan, satu di antara tuntutan rakyat adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Rakyat muak akan korupsi di lingkungan kekuasaan, tempat keluarga pejabat dan para kroni berjemaah menjarah uang rakyat. Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo sempat berujar anggaran belanja negara bocor sekitar 20 persen setiap tahun. Angka 20 persen adalah angka fantastis, tapi banyak pengamat menduga kebocoran itu lebih dari 20 persen.
Setiap proyek bisnis yang beroperasi di Indonesia terpaksa atau dipaksa bermitra dengan anak pejabat atau kroni yang sering mendapatkan saham kosong. Modal mitra lokal hanyalah izin penanaman modal yang mereka dapatkan dari orang tua atau kolega mereka. Tak ada kompetisi, tak ada equality of opportunity. Menjadi anak pejabat atau kroni sudah dengan sendirinya menjadikan seseorang berharga sebagai mitra bisnis. Jadi jangan heran jika elite pengusaha kita pada masa Orde Baru adalah elite yang terdiri atas anak-anak pejabat dan kroni yang kebanyakan tak becus, hanya jadi boneka atau silent partner pemodal asing. Sebagian tentu berhasil membangun imperium bisnis yang sukses, tapi kebanyakan hanyalah benalu yang terbenam ketika kekuasaan mereka hilang.
Pemerintahan Soeharto kala itu tahu korupsi terjadi, di pusat ataupun di daerah. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 3/1971, ber-laku sebagai dasar untuk menangkap,- menahan, menuntut, mengadili, dan meng-hukum koruptor. Instansi penegak hu-kum kita lengkap dan pernah juga diperkuat dengan ber-bagai badan ad hoc pemberantasan korupsi, misalnya Opstib. Tapi pemberantasan korupsi sama sekali tidak berjalan karena memang tak dijalankan. Korupsi dilihat sebagai "minyak pelumas" yang melicinkan pertumbuhan ekonomi,- dan oleh sebagian ekonom dimaklumi. Jadi korupsi yang dahsyat menurut penalaran rakyat dianggap sebagai tolerated corruption-korupsi yang bisa ditenggang. Tak mengherankan jika orang tak takut melakukan korupsi. Malah yang tidak melakukan korupsi justru akan terlihat bloon.
Karena yang dikejar adalah tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, dan ternyata memang tinggi, kecemasan terhadap korupsi dikalahkan oleh keberhasilan ekonomi. Rakyat pun sepertinya hanya menggerutu karena basic needs mereka dipenuhi. Ada rasa aman, padahal rasa aman itu semu. Di balik pertumbuhan ekonomi itu, mesin-mesin kekuasaan membungkam suara-suara kritis, membungkam pers. Para pengkritik akan dituduh antipembangunan dan akan tersingkir, atau disingkirkan. Yang terjadi kemudian adalah kesenjangan kaya-miskin yang semakin lebar. Indonesia menjadi milik segumpal kecil keluarga, kerabat pejabat, dan kroni mereka. Rakyat merupakan lautan kawula yang miskin, obyek pertumbuhan ekonomi, dan bagian dari statistik.
Keangkuhan kekuasaan ada batasnya. Pemerintahan Soeharto jatuh by default, bukan karena gerakan perlawanan politik di dalam negeri, melainkan justru karena terpaan krisis ekonomi Asia yang membuat ekonomi kita hancur. Bank-bank kita gulung tikar. Banyak perusahaan bangkrut, utang perusahaan dan pemerintah terancam gagal bayar. Serta-merta inflasi melambung, dan nilai tukar rupiah jatuh ke titik terlemah. Ekonomi Indonesia-yang selama ini dipuja-puji sebagai sangat baik karena fundamental ekonominya baik-akhirnya harus di-bail out. IMF datang sebagai juru selamat, walau kita tahu beberapa kebijakan IMF justru membuat ekonomi Indonesia semakin tumpur.
Pemerintahan baru naik, rakyat lantang menuntut perang melawan KKN, dan tuntutan ini menjadi berita utama koran serta televisi setiap hari. Tak satu pemerintah pun kuasa melawan gelombang tuntutan rakyat. Pemerintahan Habibie akhirnya digiring untuk membuat UU tentang kebebasan pers, pemerintahan yang bersih, dan perubahan UU Pemberantasan Korupsi. Lalu lahir pula UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mosi tidak percaya kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan yang di mata masyarakat tak punya integritas serta penuh dengan korupsi. Perang melawan korupsi, secara formal, dimulai paling tidak dengan melahirkan sejumlah produk legislasi yang menampung tuntutan pemberantasan KKN.
Pada 27 Desember 2002, UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilahirkan. Komisi yang dilahirkan oleh undang-undang ini dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi dan menandai penabuhan genderang perang melawan korupsi secara serius. Kenapa dikatakan serius? Sebab, selama ini pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di mata publik dilihat sebagai kegagalan yang memang tak bisa dihindarkan satu dan lain hal disebabkan sistem dan manusianya yang korup. Tak mengherankan jika mayoritas koruptor melenggang di alam bebas, sementara yang sempat masuk pengadilan banyak yang diputus bebas, atau kalau dihukum, hukumannya sangat ringan. Akibatnya, orang tak takut melakukan korupsi. Tak ada efek jera (deterrence) sama sekali.
Adanya public distrust melahirkan KPK, dan KPK didirikan sebagai superbody dengan segala kewenangan yang praktis tak memungkinkan KPK gagal dalam memberantas korupsi. Selain Kopkamtib, belum pernah ada lembaga yang punya kewenangan sangat luas seperti KPK. Kalaulah KPK menjalankan semua kewenangannya, tanpa ewuh pakewuh, akan banyak koruptor yang terjaring dan meringkuk di penjara. Sayang, KPK belum siap melaksanakan semua kewenangannya sehingga hasil kerja KPK masih belum sepenuhnya optimal. Namun, jika kita membandingkan kerja KPK dengan kerja lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sebelum KPK dilahirkan, tidak salah jika ada yang menyimpulkan bahwa hasil kerja KPK jauh lebih baik.
Dalam sejarah Republik memang belum pernah ada begitu banyak bupati, wali kota, gubernur, mantan menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan komisioner dari berbagai lembaga negara yang terjerat kasus korupsi diperiksa, dituntut, diadili, serta dihukum. Sementara dulu surat izin memeriksa pejabat yang terkena korupsi begitu sukar didapat, sekarang Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono memberi kemudahan memeriksa para pejabat. Dengan dukungan media dan masyarakat sipil, terutama lembaga swadaya masyarakat, lima-enam tahun pertama pemberantasan korupsi oleh KPK memberi harapan bahwa pemerintah sangat serius memberantas korupsi. KPK dengan cepat menjadi lembaga penegak hukum paling kredibel di mata rakyat dan di mata internasional. KPK menjadi model lembaga pemberantasan korupsi di negara-negara lainnya.
Laju pemberantasan korupsi lama-kelamaan merisaukan banyak pihak, termasuk pemangku kekuasaan. Peluru yang ditembakkan KPK ke koruptor di berbagai lembaga negara, DPR, dan pengusaha telah membuat para koruptor melakukan perlawanan dengan berbagai cara, dari uji materi UU Nomor 30/2002 sampai pelemahan Pengadilan Tipikor, dari penarikan penyidik kepolisian sampai ancaman audit keuangan KPK oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta dari kemarahan lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sampai kriminalisasi dua pemimpin KPK dalam drama "cicak vs buaya". Semua ini bagian dari pembonsaian KPK yang dulu saya istilahkan sebagai fenomena corruptors fight back.
KPK masih selamat, tapi sempat terjadi demoralisasi. KPK menjadi lamban dalam bertindak karena merasa tak mendapat dukungan politik. Akibatnya, banyak kasus korupsi yang tertunda penanganannya meski tersangka sudah ditetapkan. Banyak kasus korupsi yang dituntut oleh publik untuk ditangani tapi tak ditangani oleh KPK. Tak salah kalau banyak yang berspekulasi bahwa KPK yang dipersepsikan sebagai lembaga ad hoc akan berakhir, dan pemberantasan korupsi akan dikembalikan ke kepolisian serta kejaksaan. Secara sistematis KPK digergaji dari berbagai segi, ditambah lagi dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap tidak tegas mendukung KPK.
Korupsi tak berhenti. Orang tak takut melakukan korupsi. Sekian banyak orang yang dihukum karena korupsi tak menyurutkan orang melakukan korupsi. Lihatlah apa yang diperbuat oleh mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, yang secara telanjang mempermainkan hukum dan memperalat aparatur penegak hukum. Jaringan mafia pajak ini membuka mata kita tentang jaringan mafia hukum yang melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, rumah tahanan, imigrasi, dan advokat. Rasa keadilan kita dihina dengan sepak terjang yang terang-terangan menginjak-injak hukum dengan menyuap banyak pihak meninggalkan rumah tahanan untuk menonton turnamen tenis internasional di Bali, dan juga pelesiran ke Makau serta Kuala Lumpur. Padahal kasusnya sedang diadili dan wajahnya menjadi sangat terkenal karena muncul di koran, majalah, dan televisi setiap hari.
Beberapa hari ini kita dibuat terperangah oleh tersangka dan terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah. Beberapa gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi masih menjabat gubernur, dan ada yang masih memerintah dari balik jeruji rumah tahanan. Beberapa hari lalu Mayor Jefferson S.M. Rumajar yang ditahan karena tuduhan korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dilantik sebagai Bupati Tomohon oleh Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang di kantor Menteri Dalam Negeri. Ironisnya, pelantikan itu dihadiri sejumlah menteri. Saya merasa bahwa semakin lama kita semakin kehilangan akal sehat, terjebak dalam norma hukum positif yang menelikung pemberantasan korupsi itu sendiri.
Sungguh saya tak tahu apakah komitmen kita memerangi korupsi masih teguh atau tidak. Yang saya tahu adalah Indeks Persepsi Korupsi kita masih 2,8, dan angka ini masih angka yang buruk. Indonesia masih diper-sepsikan sebagai negara yang masuk kategori terkorup. Pe-rang melawan korupsi yang pada awalnya menjanjikan harapan sekarang redup. Apa yang terjadi dalam kasus Gayus dan pelantikan para tersangka serta terdakwa menjadi pejabat merupakan kemunduran dalam perang melawan korupsi. Ketidaktegasan dalam menuntaskan kasus Gayus merupakan potret kuatnya kepentingan pihak yang terkait dengan korupsi. Mereka berada di garis depan menghambat perang melawan korupsi, dan celakanya presiden kita yang selama ini retorika antikorupsinya sangat memukau ternyata tak memberi dukungan politik yang tegas. Tidak sa-lah kalau banyak orang yang merasa pesimistis. Tidak sa-lah kalau banyak orang yang menyimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah perang setengah hati melawan korupsi.
Setiap proyek bisnis yang beroperasi di Indonesia terpaksa atau dipaksa bermitra dengan anak pejabat atau kroni yang sering mendapatkan saham kosong. Modal mitra lokal hanyalah izin penanaman modal yang mereka dapatkan dari orang tua atau kolega mereka. Tak ada kompetisi, tak ada equality of opportunity. Menjadi anak pejabat atau kroni sudah dengan sendirinya menjadikan seseorang berharga sebagai mitra bisnis. Jadi jangan heran jika elite pengusaha kita pada masa Orde Baru adalah elite yang terdiri atas anak-anak pejabat dan kroni yang kebanyakan tak becus, hanya jadi boneka atau silent partner pemodal asing. Sebagian tentu berhasil membangun imperium bisnis yang sukses, tapi kebanyakan hanyalah benalu yang terbenam ketika kekuasaan mereka hilang.
Pemerintahan Soeharto kala itu tahu korupsi terjadi, di pusat ataupun di daerah. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 3/1971, ber-laku sebagai dasar untuk menangkap,- menahan, menuntut, mengadili, dan meng-hukum koruptor. Instansi penegak hu-kum kita lengkap dan pernah juga diperkuat dengan ber-bagai badan ad hoc pemberantasan korupsi, misalnya Opstib. Tapi pemberantasan korupsi sama sekali tidak berjalan karena memang tak dijalankan. Korupsi dilihat sebagai "minyak pelumas" yang melicinkan pertumbuhan ekonomi,- dan oleh sebagian ekonom dimaklumi. Jadi korupsi yang dahsyat menurut penalaran rakyat dianggap sebagai tolerated corruption-korupsi yang bisa ditenggang. Tak mengherankan jika orang tak takut melakukan korupsi. Malah yang tidak melakukan korupsi justru akan terlihat bloon.
Karena yang dikejar adalah tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, dan ternyata memang tinggi, kecemasan terhadap korupsi dikalahkan oleh keberhasilan ekonomi. Rakyat pun sepertinya hanya menggerutu karena basic needs mereka dipenuhi. Ada rasa aman, padahal rasa aman itu semu. Di balik pertumbuhan ekonomi itu, mesin-mesin kekuasaan membungkam suara-suara kritis, membungkam pers. Para pengkritik akan dituduh antipembangunan dan akan tersingkir, atau disingkirkan. Yang terjadi kemudian adalah kesenjangan kaya-miskin yang semakin lebar. Indonesia menjadi milik segumpal kecil keluarga, kerabat pejabat, dan kroni mereka. Rakyat merupakan lautan kawula yang miskin, obyek pertumbuhan ekonomi, dan bagian dari statistik.
Keangkuhan kekuasaan ada batasnya. Pemerintahan Soeharto jatuh by default, bukan karena gerakan perlawanan politik di dalam negeri, melainkan justru karena terpaan krisis ekonomi Asia yang membuat ekonomi kita hancur. Bank-bank kita gulung tikar. Banyak perusahaan bangkrut, utang perusahaan dan pemerintah terancam gagal bayar. Serta-merta inflasi melambung, dan nilai tukar rupiah jatuh ke titik terlemah. Ekonomi Indonesia-yang selama ini dipuja-puji sebagai sangat baik karena fundamental ekonominya baik-akhirnya harus di-bail out. IMF datang sebagai juru selamat, walau kita tahu beberapa kebijakan IMF justru membuat ekonomi Indonesia semakin tumpur.
Pemerintahan baru naik, rakyat lantang menuntut perang melawan KKN, dan tuntutan ini menjadi berita utama koran serta televisi setiap hari. Tak satu pemerintah pun kuasa melawan gelombang tuntutan rakyat. Pemerintahan Habibie akhirnya digiring untuk membuat UU tentang kebebasan pers, pemerintahan yang bersih, dan perubahan UU Pemberantasan Korupsi. Lalu lahir pula UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mosi tidak percaya kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan yang di mata masyarakat tak punya integritas serta penuh dengan korupsi. Perang melawan korupsi, secara formal, dimulai paling tidak dengan melahirkan sejumlah produk legislasi yang menampung tuntutan pemberantasan KKN.
Pada 27 Desember 2002, UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilahirkan. Komisi yang dilahirkan oleh undang-undang ini dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi dan menandai penabuhan genderang perang melawan korupsi secara serius. Kenapa dikatakan serius? Sebab, selama ini pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di mata publik dilihat sebagai kegagalan yang memang tak bisa dihindarkan satu dan lain hal disebabkan sistem dan manusianya yang korup. Tak mengherankan jika mayoritas koruptor melenggang di alam bebas, sementara yang sempat masuk pengadilan banyak yang diputus bebas, atau kalau dihukum, hukumannya sangat ringan. Akibatnya, orang tak takut melakukan korupsi. Tak ada efek jera (deterrence) sama sekali.
Adanya public distrust melahirkan KPK, dan KPK didirikan sebagai superbody dengan segala kewenangan yang praktis tak memungkinkan KPK gagal dalam memberantas korupsi. Selain Kopkamtib, belum pernah ada lembaga yang punya kewenangan sangat luas seperti KPK. Kalaulah KPK menjalankan semua kewenangannya, tanpa ewuh pakewuh, akan banyak koruptor yang terjaring dan meringkuk di penjara. Sayang, KPK belum siap melaksanakan semua kewenangannya sehingga hasil kerja KPK masih belum sepenuhnya optimal. Namun, jika kita membandingkan kerja KPK dengan kerja lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sebelum KPK dilahirkan, tidak salah jika ada yang menyimpulkan bahwa hasil kerja KPK jauh lebih baik.
Dalam sejarah Republik memang belum pernah ada begitu banyak bupati, wali kota, gubernur, mantan menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan komisioner dari berbagai lembaga negara yang terjerat kasus korupsi diperiksa, dituntut, diadili, serta dihukum. Sementara dulu surat izin memeriksa pejabat yang terkena korupsi begitu sukar didapat, sekarang Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono memberi kemudahan memeriksa para pejabat. Dengan dukungan media dan masyarakat sipil, terutama lembaga swadaya masyarakat, lima-enam tahun pertama pemberantasan korupsi oleh KPK memberi harapan bahwa pemerintah sangat serius memberantas korupsi. KPK dengan cepat menjadi lembaga penegak hukum paling kredibel di mata rakyat dan di mata internasional. KPK menjadi model lembaga pemberantasan korupsi di negara-negara lainnya.
Laju pemberantasan korupsi lama-kelamaan merisaukan banyak pihak, termasuk pemangku kekuasaan. Peluru yang ditembakkan KPK ke koruptor di berbagai lembaga negara, DPR, dan pengusaha telah membuat para koruptor melakukan perlawanan dengan berbagai cara, dari uji materi UU Nomor 30/2002 sampai pelemahan Pengadilan Tipikor, dari penarikan penyidik kepolisian sampai ancaman audit keuangan KPK oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta dari kemarahan lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sampai kriminalisasi dua pemimpin KPK dalam drama "cicak vs buaya". Semua ini bagian dari pembonsaian KPK yang dulu saya istilahkan sebagai fenomena corruptors fight back.
KPK masih selamat, tapi sempat terjadi demoralisasi. KPK menjadi lamban dalam bertindak karena merasa tak mendapat dukungan politik. Akibatnya, banyak kasus korupsi yang tertunda penanganannya meski tersangka sudah ditetapkan. Banyak kasus korupsi yang dituntut oleh publik untuk ditangani tapi tak ditangani oleh KPK. Tak salah kalau banyak yang berspekulasi bahwa KPK yang dipersepsikan sebagai lembaga ad hoc akan berakhir, dan pemberantasan korupsi akan dikembalikan ke kepolisian serta kejaksaan. Secara sistematis KPK digergaji dari berbagai segi, ditambah lagi dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap tidak tegas mendukung KPK.
Korupsi tak berhenti. Orang tak takut melakukan korupsi. Sekian banyak orang yang dihukum karena korupsi tak menyurutkan orang melakukan korupsi. Lihatlah apa yang diperbuat oleh mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, yang secara telanjang mempermainkan hukum dan memperalat aparatur penegak hukum. Jaringan mafia pajak ini membuka mata kita tentang jaringan mafia hukum yang melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, rumah tahanan, imigrasi, dan advokat. Rasa keadilan kita dihina dengan sepak terjang yang terang-terangan menginjak-injak hukum dengan menyuap banyak pihak meninggalkan rumah tahanan untuk menonton turnamen tenis internasional di Bali, dan juga pelesiran ke Makau serta Kuala Lumpur. Padahal kasusnya sedang diadili dan wajahnya menjadi sangat terkenal karena muncul di koran, majalah, dan televisi setiap hari.
Beberapa hari ini kita dibuat terperangah oleh tersangka dan terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah. Beberapa gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi masih menjabat gubernur, dan ada yang masih memerintah dari balik jeruji rumah tahanan. Beberapa hari lalu Mayor Jefferson S.M. Rumajar yang ditahan karena tuduhan korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dilantik sebagai Bupati Tomohon oleh Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang di kantor Menteri Dalam Negeri. Ironisnya, pelantikan itu dihadiri sejumlah menteri. Saya merasa bahwa semakin lama kita semakin kehilangan akal sehat, terjebak dalam norma hukum positif yang menelikung pemberantasan korupsi itu sendiri.
Sungguh saya tak tahu apakah komitmen kita memerangi korupsi masih teguh atau tidak. Yang saya tahu adalah Indeks Persepsi Korupsi kita masih 2,8, dan angka ini masih angka yang buruk. Indonesia masih diper-sepsikan sebagai negara yang masuk kategori terkorup. Pe-rang melawan korupsi yang pada awalnya menjanjikan harapan sekarang redup. Apa yang terjadi dalam kasus Gayus dan pelantikan para tersangka serta terdakwa menjadi pejabat merupakan kemunduran dalam perang melawan korupsi. Ketidaktegasan dalam menuntaskan kasus Gayus merupakan potret kuatnya kepentingan pihak yang terkait dengan korupsi. Mereka berada di garis depan menghambat perang melawan korupsi, dan celakanya presiden kita yang selama ini retorika antikorupsinya sangat memukau ternyata tak memberi dukungan politik yang tegas. Tidak sa-lah kalau banyak orang yang merasa pesimistis. Tidak sa-lah kalau banyak orang yang menyimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah perang setengah hati melawan korupsi.
Todung Mulya Lubis
Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar